PURBALINGGA, EDUKATOR— Akulturasi merupakan proses perpaduan dua budaya atau lebih sehingga melahirkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur budaya lama.
Berbicara mengenai akulturasi, Indonesia sebagai negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, ikut dipengaruhi budaya Tionghoa. Dalam hal ini, budaya Islam dan Tionghoa hidup berdampingan dan berkembang hingga melahirkan akulturasi budaya, salah satunya pada bentuk arsitektur.
Wujud akulturasi dalam bentuk arsitektur itu, terlihat dari banyaknya masjid Cheng Hoo yang berarsitektur perpaduan antara Indonesia dan Tionghoa, tersebar di berbagai daerah di Indoensia.
Cheng Hoo atau Zheng He, adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal. Di antara penjelajahannya adalah ekspedisi ke Nusantara dan Taiwan antara tahun 1405 hingga 1433. Jejak Cheng Hoo di nusantara, terlihat dari adanya Masjid Cheng Hoo di bebagai daerah itu.
Salah satunya adalah Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo atau Masjid Cheng Hoo, yang berada di jalan raya Purbalingga-Pemalang, atau tepatnya di Desa Selaganggeng, Kecamatan Mrebet, Purbalingga atau sekitar 8,5 km arah utara Alun-alun Purbalingga.
Ada yang membedakan Masjid Cheng Hoo yang ada di berbagai daerah dengan yang ada di Purbalingga ini. Arsitektur Masjid Cheng Hoo Purbalingga mengadopsi bentuk Masjid Cheng Hoo Surabaya. Namun, ada sejumlah modifikasi di dalamnya.
“Biasanya Masjid Cheng Hoo dibangun dekat dengan pesisir pantai, namun Masjid Cheng Hoo yang berada di Purbalingga ini terletak di kaki gunung Slamet,” ujar Untung Subarjo, salah satu pengurus Masjid Cheng Hoo kepada EDUKATOR, Kamis (26/1/2023).
Jika di Surabaya Masjid Cheng Hoo berbentuk segi empat, di Purbalingga berbentuk hexagonal atau segi delapan dan bertingkat.
Sekilas, bangunan Masjid Cheng Hoo Purbalingga itu lebih tampak seperti kelenteng atau pagoda. Desain dan dominasi warna merah dan kuning bangunannya merujuk pada bangunan-bangunan khas Tiongkok.
Masjid itu didesain unik, mengadopsi akulturasi Islam, Tiongkok dan Jawa atau Indonesia.
Untung Subarjo menceritakan, berdirinya masjid Cheng Hoo Purbalingga berawal dari seorang mualaf keturunan Tionghoa, bernama Herry Wakong atau lebih dikenal dengan nama Herry Susetyo.
Pada tahun 2003 setelah Herry Susetyo dilantik sebagai ketua Dewan Perwakilan Cabang Pembina Iman Tauhid Indonesia atau disebut juga Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Purbalingga, Herry memiliki keinginan untuk membangun masjid. Dengan dibangunnya masjid ia berharap nantinya masjid tersebut bisa menjadi penyatu, perekat segenap komunitas dan masyarakat, sekaligus bisa menjadi ikon yang dibanggakan.
Peletakan batu pertama dilakukan pada 20 Maret 2005 oleh HM. Yos Sutomo, didampingi Bupati Purbalingga Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si.
Dalam proses selanjutnya pembangunan masjid Cheng Hoo mengalami berbagai rintangan yang membuat proses pembangunan masjid mengalami kemandegan.
Pada tahun 2007 seluruh proses pembangunan harus terhenti karena masalah pendanaan. Pada Agustus tahun 2010 bertepatan pada bulan Ramadhan tahun tersebut datanglah dermawan yang bersedia melanjutkan pembangunan masjid Cheng Hoo .
“Dermawan tersebut adalah H.A. Zaky Arslan Djunaid, pemilik sekaligus ketua umum Kospin Jasa Pekalongan,” ujarnya.
Proses pembangunan masjid kembali dilanjutkan pada 13 Oktober 2010. Proses pembangunan kali ini berjalan dengan lancar, hanya butuh waktu 10 bulan untuk merampungkan pembangunan Masjid Cheng Hoo. Masjid Cheng Ho diresmikan pada tanggal 5 Juli 2011 oleh H.A.Zaky Arslan Djunaid.
Toleransi
Sejak awal pendirian, pesan toleransi dan keberagaman ditonjolkan dalam pembangunan masjid itu. Hal itu dapat dibuktikan dengan arsitektur bangunan yang merupakan perpaduan lintas etnik dan bisa digunakan oleh masyarakat umum.
Berdasarkan pengamatan EDUKATOR, atap masjid tersebut menyerupai pagoda dengan bentuk segi delapan dan bertingkat. Unsur angka delapan cukup banyak ditemui di masjid ini. Yakni pada atap masjid berbentuk segi delapan dengan ornamen kaligrafi Lafadz Allah, lalu pada kaca patri yang menghiasi sisi bangunan masjid, selanjutnya terdapat delapan tiang penyangga yang berjumlah delapan buah.
“Adanya tiang tersebut juga termasuk dalam budaya Jawa, yang mana dalam arsitektur Jawa sebuah bangunan harus memiliki saka guru. Salah satu penerapannya terdapat pada bangunan pendopo,” ujarnya.
Dalam akulturasinya masjid Cheng Hoo menerapkan delapan tiang penyangga. Delapan dipilih karena dalam kebudayaan Tionghoa angka delapan dimaknai angka keberuntungan dan pembawa kebaikan.
“Nilai angka delapan pada budaya Cina itu punya makna tersendiri sebagai simbol kebahagiaan dan kebaikan. Oleh karena itu, saka guru, jendela dan atap masjid ini semuanya menggunakan jumlah delapan,” jelasnya.
Warna merah dan kuning tampak mendominasi bangunan masjid yang berdiri di atas lahan seluas 100 ubin. Kini, masjid Cheng Hoo menjadi salah satu ikon Purbalingga sebagai tempat wisata religi. Masjid Ceng Hoo bak lentera merah di kota Perwira.
Dan masjid ini terbuka untuk umum. Banyak pengguna jalan jurusan Purbalingga – Bobotsari -Pemalang yang sengaja mampir ke masjid ini untuk beribadah maupun sekadar berisitirahat. (Alif Cahya Pratama/Milla Febriani/Erlina Dwi Anggraini/Alisia Azarine Maulani/Musa Asaduddin Wahid/PPL UIN Saizu Purwokerto)