*Perjalanan Anugrah dari Lubang Jarum ke Kanvas Perlawanan
Anugrah Fadly Kreato Seniman, sedang melukis di studio milij keluarga “Studi Tanjakan 98”. (Foto: Harta Nining Wijaya/EDUKATOR)
YOGYAKARTA, EDUKATOR–Di sebuah ruang kecil bernama Studio Tanjakan 98, Yogyakarta, seorang pemuda menorehkan cat warna pada sebuah kanvas.
Dikelilingi puluhan karya lukis yang ditempel di dinding, ia bukan hanya sedang menggambar. Ia menerjemahkan dunia yang tidak selalu memberinya tempat, menjadi warna, garis, dan bentuk.
Namanya Anugrah Fadly Kreato Seniman. Seorang pria autistik dengan mimpi besar: membawa seni sebagai terapi. Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk banyak jiwa lain yang pernah merasa terasing karena “berbeda”.
“Melukis adalah kebebasanku,” ujar Anugrah kerika ditemui, Selasa (5/8/2025).
Masa kecilnya tak diisi celoteh ramai. Ia jarang menangis, tak menatap, tak menyapa. Di usia 1,8 tahun, dirinya didiagnosis Autism Asperger. Diagnosa yang mengantar keluarganya pada kenyataan baru. Mereka bakal menempuh jalan panjang yang tidak lazim.
Namun, Tuhan mengirimkan satu pintu terang, yakni seni. Bersama ayah dan adik-adiknya, Anugrah kecil mulai mencorat-coret di sebuah TK milik keluarga di Bekasi. Ia menggambar Kapal Nabi Nuh, membayangkan binatang-binatang, dan menemukan bahasa yang bisa ia kendalikan. “Aku tidak tahu ini art therapy waktu itu. Tapi aku merasa jujur dan utuh saat melukis,” katanya.
Nama adalah DoaAnugrah Fadly nomor 2 dari kanan, bersama sang ibu (paling kanan), adik di samping kiri, dan sang ayah (paling kiri), usai sidang tesis di UNY. (Harta Nining Wijaya/EDUKATOR)
Sang ayah, Samodra, memberinya nama lengkap: Anugrah Fadly Kreato Seniman. “Karena saya ingin dia tumbuh jadi seniman yang kreatif, dan itu doa saya sejak awal,” ujarnya pelan.
Tapi bukan hanya nama yang diberikan, juga perjuangan tanpa akhir. Begadang selama tujuh tahun karena gangguan tidur Anugrah, kehilangan jabatan dosen karena memilih mendampingi anak, pindah dari Bekasi ke Yogyakarta demi pendidikan dan ketenangan. “Saya tidak bisa jauh dari dia,” ujar Samodra.
Anugrah sempat gagal masuk ISI Yogyakarta karena tak bisa menggambar realistik. Ia mencoba lagi di jurusan patung dan berhasil. Meski harus bergulat dengan alat-alat berat yang sulit ia kuasai. Misalnya: grinda, tatah, mesin amplas, Anugrah tidak menyerah. Ia malah menikmati perjalanan akademiknya hingga “kebablasan” mengambil 158 SKS.
Gagal masuk S2 ISI, ia diarahkan ke Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNY oleh Dr. Hajar Pamadhi. Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), yang meraih gelar doktor dari Fakultas Filsafat UGM “Awalnya aku takut tidak bisa mengikuti kuliah teori, tapi ternyata IPK-ku 3,31,” katanya dengan bangga.
Kini, ia menyelesaikan tesis tentang art therapy berbasis pengalaman dan observasinya terhadap dua seniman autistik lain: Reynaldi dan Salman.
STRUGGLE: Pameran sebagai perlawanan
Pameran STRUGGLE, menurut Anugrah, bukan hanya ruang seni. “Ini cara kami mengisi kemerdekaan,” ujarnya. Bersama Raphael, Reynaldi, dan Salman, ia akan memamerkan karya-karya jujur dan tak standar: silent expression dari para seniman neurodivergen. Pameran akan dibuka oleh Prof. Dr. M. Baiquni, MA di Ruang Dalam Art House, pada 23 Agustus 2025 mendatang.
“Orang neurodivergen pikirannya tidak standar. Tapi justru itu yang bikin karya kami unik,” ujar Anugrah. Ia berharap pengunjung bisa memahami bahwa cara berpikirnya memang berbeda, tapi bukan berarti salah.
Studio Tanjakan 98
Studio kecil di Nitiprayan ini bukan sekadar tempat melukis. Ini adalah ruang belajar, tempat penyembuhan, dan rumah bersama para neurodivergen. “Saya ingin jadikan tempat ini sebagai pusat art therapy, galeri, ruang edukasi, bahkan lembaga pendidikan,” ujar Anugrah.
Namun keterbatasan masih menjadi tantangan. Area yang sempit, biaya yang terbatas. “Kami dibiayai dari endorse produk cat oleh PT Lyra Akrelux melalui konten YouTube dan TikTok yang saya kelola bersama ayah dan adik-adik.”
Anugrah juga berkisah bahwa dirinya ingin melanjutkan studi S3. Bukan untuk gelar, katanya. Melainkan berbagi. “Ayahku yang mendorong. Katanya kalau pendidikan tinggi, orang lain akan lebih mendengarkanmu.” Anugrah ingin berbagi ilmu kepada sesama individu autistik dan orang tua mereka. Ia tidak ingin perjalanannya berhenti di sini.
“Aku ingin membuktikan bahwa orang-orang hebat bisa lahir dari manusia neurodivergen. Bangsa ini tak akan maju kalau masih memandang kami rendah,” ucapnya lantang.
Pesan Ayah
Sang ayah Samodra, tidak meminta banyak. Ia hanya ingin anaknya tetap berkarya, tetap tumbuh. “Kalau ada rezeki, saya ingin Studio Tanjakan 98 berkembang, menjadi laboratorium seni autistik, ruang pamer, dan tempat anak-anak belajar mencintai dirinya,” ujarnya.
Pesan terakhirnya sederhana namun kuat: “Terimalah anakmu. Berjuanglah. Dan percayalah—anak neurodivergen itu bisa menjadi manusia legendaris.” (Harta Nining Wijaya)