*Pengalaman Dosen Unsoed Sulistyandari
TAIWAN, EDUKATOR--Di bawah terik matahari di Fulu River, Changhua, Taiwan riuh sorak sorai penonton berpadu dengan deru gendang mengiringi deretan perahu panjang yang melesat bagai anak panah, siang itu.
Ya, Festival Perahu Naga atau Dragon Boat Festival 2025 di Taiwan kembali menyedot perhatian masyarakat lokal dan wisatawan mancanegara. Dari 27 Mei hingga 1 Juni 2025, berbagai kota di Taiwan hidup dalam semangat tradisi yang telah berlangsung berabad-abad.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Sulistyandari, SE.,MSi, menjadi salah satu saksi hidup dari kemeriahan festival ini, khususnya di Changhua. Ia menyempatkan diri menyaksikan langsung lomba perahu naga di Sungai Fulu, 1 Juni lalu.
“Sungguh meriah dan mengasyikkan menyaksikan festival itu. Masyarakat tumpah ruah di tepi sungai. Tradisi ini begitu hidup,” ujar Ndari–demikian panggilan akrabnya yang kini sedang studi S3 di National Yunlin University of Science and Technology (NYUST), Douliu, Yunlin, Taiwan. Ndari bersama teman-teman dari Indonesia dan Pakistan saat menyaksikan .Dragon Boat Festival 2025″ di Fulu River, Changhua, Taiwan
Merayakan Legenda Qu Yuan
Festival ini bukan sekadar tontonan, melainkan cermin sejarah dan nilai. Menurut Ndari, sapaan akrab Sulistyandari, Dragon Boat Festival atau Double Fifth Festival dilatarbelakangi kisah tragis Qu Yuan, seorang penyair dan negarawan Dinasti Chu yang mengakhiri hidupnya di Sungai Miluo sebagai bentuk kesetiaan pada negara. Untuk mengenangnya, rakyat mendayung perahu berbentuk naga dan melemparkan zongzi (bakcang ketan) ke sungai agar tubuhnya tidak dimakan ikan.
“Tradisi itu tetap terjaga dengan utuh. Dan saat melihat langsung perlombaannya, terasa betapa rakyat Taiwan menjaga warisan ini bukan sekadar simbolik, tetapi penuh rasa hormat dan kebanggaan,” jelas Ndari kepada EDUKATOR melalui pesan WhatsApp.
Lomba, Kuliner, dan Kemeriahan
Selain perlombaan perahu naga, masyarakat juga menikmati berbagai kegiatan seperti menyantap zongzi, menyeimbangkan telur—ritual keberuntungan—hingga menikmati bazar kuliner dan pertunjukan rakyat. “Anak-anak bermain, orang tua berdagang, muda-mudi berswafoto. Semua larut dalam euforia tradisi,” kata Ndari.
Harga zongzi di sekitar lokasi lomba bervariasi antara NT$40–NT$100 (sekitar Rp 21.000 – Rp 53.000) per buah.Itu tergantung isi dan ukuran. Rasa klasik seperti kacang merah dan ayam tetap jadi primadona. Sedangkan minuman lokal seperti bubble tea, sugarcane juice, hingga es buah Taiwan juga banyak dijajakan, dijual dengan kisaran NT$30–NT$70 atau kisaran Rp 15.900 – Rp 37.100.Sulistyandari
Menyatu dengan Lanskap Budaya
Setiap kota menyuguhkan atmosfer yang khas. Dari danau Longtan di Taoyuan, kanal Luzhou di New Taipei, hingga pelabuhan Badouzi di Keelung, festival ini tampil dengan latar alam dan budaya yang unik. Namun, Yunlin tahun ini absen karena lokasi lomba sedang direnovasi.
Berikut beberapa lokasi utama lomba perahu naga:
Taipei (Dajia Riverside Park): 30 Mei – 1 Juni
Kaohsiung (Love River): 30 Mei – 1 Juni
Tainan (Yunhe River): 27 – 31 Mei
Changhua (Fulu River): 30 Mei – 1 Juni
Chiayi (Dongshi Harbor): 31 Mei
Keelung (Badouzi Harbor): 31 Mei
Hampir semua lokasi dipadati penonton. Di Changhua, misalnya, lomba dimulai pukul 14.00 dan berlangsung hingga sore hari. Pengunjung dianjurkan membawa payung dan air minum, mengingat suhu yang cukup terik. Meskipun demikian, antusiasme tak surut. “Ada yang datang dari kota lain hanya untuk menonton lomba di Changhua. Atmosfernya luar biasa,” ujar Ndari.
Warisan yang Melampaui Batas Negara
Festival ini tak hanya dirayakan di Taiwan. Komunitas Tionghoa di Hong Kong, Makau, China daratan, hingga diaspora di Asia Tenggara, Eropa, Amerika, dan Australia juga ikut menggelar perayaan serupa. Ini menandakan bahwa Dragon Boat Festival telah menjadi bagian dari memori kolektif budaya Tionghoa di seluruh dunia.
Menurut Ndari, festival ini membuktikan bahwa budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu. “Ini warisan yang hidup—yang berdetak bersama detak masyarakat hari ini. Tidak lekang oleh zaman, justru terus berkembang,” tegasnya.
Simbol Komunitas dan Ketahanan Budaya
Festival Perahu Naga adalah gabungan antara seni, olahraga, sejarah, dan spiritualitas. Dari sudut mana pun ia dilihat, perayaan ini tetap menonjolkan semangat komunitas dan ketahanan budaya. Di tengah globalisasi, tradisi ini menunjukkan bahwa nilai lokal tetap relevan dan bisa menjadi daya tarik lintas bangsa.
Bagi Indonesia, pengalaman seperti ini menjadi cermin penting tentang bagaimana melestarikan warisan dengan cara yang hidup dan melibatkan generasi muda.(Alief Einstein/Prs)