Triple System, Pengelolaan Limbah B3 RSUD dr. Darsono Kabupaten Pacitan

by -1528 Views

POIN ketiga dari 5 pokok rencana strategis Kementrian Kesehatan Republik Indonesia untuk melaksanakan Rencana Pembanguban Jangka Menengah (RPJM) Presiden terpilih 2020 – 2024 adalah meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit. Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3)  merupakan faktor yang memiliki potensi daya penularan tinggi. Pengelolaan Limbah B3 kemudian menjadi factor utama untuk meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Pembakaran di insenerator demi kepentingan strategis hanya dioperasionalkan 50 persen dari kapasitas normal.

Limbah B3 adalah zat, energi, dan atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Definisi ini tercantum dalam Undang – Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan – peraturan lain di bawahnya.

Jenis – jenis Bahan Berbahaya dan Beracun diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Peraturan ini selain mengatur tata laksana pengelolaan B3, juga mengklasifikasikan B3 dalam tiga kategori yaitu B3 yang dapat dipergunakan, B3 yang dilarang dipergunakan dan B3 yang terbatas dipergunakan.

Limbah B3 merupakan sisa usaha dan atau kegiatan yang mengandung B3. Limbah B3 dihasilkan dari kegiatan usaha  baik dari sektor industri, pariwisata, pelayanan kesehatan maupun dari domestik rumah tangga. Pengelolaan Limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 yang mana dalam peraturan ini juga tercantum daftar lengkap limbah B3 baik dari sumber tidak spesifik, limbah B3 dari sumber spesifik, serta limbah B3 dari B3 kadaluwarsa, B3 yang tumpah, B3 yang tidak memenuhi spesifikasi produk dan bekas kemasan B3. 

Suatu zat atau senyawa yang terindikasi memiliki karakteristik limbah B3, namun tidak tercantum dalam Lampiran 1 PP 101/2014 perlu dilakukan uji karateristik untuk identifikasi. Uji karakteristiknya dapat berupa Uji Karakteristik Mudah meledak, mudah menyala, reaktif,  infeksius dan korosif dan beracun sebagaimana lengkap dijelaskan pada Lampiran 2 PP 101/2014. Pengujian karakteristik beracun misalnya dilakukan dengan TCLP atau Uji Toksikologi LD50.

Pemeliharaan insenerator harus dilakukan setiap hari, karena investasi dan pengurusan ijinnya tidak mudah. Data menunjukan hanya 4 persen Rumah sakit di seluruh Indonesia yang memiliki ijin operasional insenerator. RSUD dr Darsono Pacitan memiliki ijin dari KemenLH sejak 2019.

Rumah Sakit juga menghasilkan sisa kegiatan pelayanan yang mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (limbah B3). Pengelolaan Limbah B3 rumah sakit harus dilakukan secara seksama guna mencegah dan mengendalikan rantai penularan penyakit kita harus mencari cara yang kreatif, sehingga menemukan metode yang paling efektif, efisien dan aman dalam mengelola limbah B3.

Mempertimbangkan jumlah, karakter bahaya Limbah B3, sosial ekonomi, dan geografis, maka Instalasi Penyehatan Lingkungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (IPL K3) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Darsono Kabupaten Pacitan, merekayasa metode pengolahan yang efektif, efisien dan aman. Selanjutnya metode ini disebut Triple System yang merupakan gabungan dari tiga subsistem yakni yang pertama sistem penyimpanan dalam hal ini menggunakan cold storage, yang kedua sistem pengolahan internal dengan menggunakan Insenerator  dan yang ketiga system pengolahan eksternal dalam hal ini kerja sama dengan pihak ketiga.

Codl storage adalah sistem penyimpanan limbah B3 dalam bentuk  satu ruangan, yang bisa dikendalikan suhunya sesuai syarat atau kondisi yang kita perlukan, dalam mengendalikan atau menyimpan limbah B3.

Mengapa cold storage  kita pilih dalam proses penyimpanan? :

  1. Pertama, karena limbah B3 memiliki karakter utama bersifat infeksius, jika tidak disimpan dalam kondisi tertentu, proses kimiawi, biologis, fisika akan terus berlangsung dan potensial membuat limbah B3 menjadi lebih infeksius. Atau setidaknya tingkat daya penularannya semakin meningkat atau meluas. Disinilah alasan utama mengapa diperlukan rekayasa suhu di mana limbah B3 bisa stag,  menghentikan ataupun setidaknya menurunkan proses perubahan-perubahan kimiawi biologis dan bisnisnya, dan ini berarti akan menurunkan tingkat penularannya atau infeksiusnya. 3
  2. Kedua, Penyimpanan dengan menggunakan codl storage,  dapat mengisolir bau yang diakibatkan dari pembusukan limbah B3.
  3. Ketiga, Cold storage juga melindungi limbah B3 dari serangga, tikus, kucing, dan Binatang pengganggu lainnya karena dikawatirkan binatang ini bisa turut andil dalam rantai penyebaran penyakit.
  4. Keempat, Cold storage juga dipandang lebih estetis dibandingkan dengan penyimpanan terbuka biasa. Tidak nampak kumuh, tidak nampak jorok dan lebih estetis.
  5. Kelima, karena kemampuan pengolahan internal dengan menggunakan insenerator tidak seimbang dengan volume limbah B3 yang dihasilkan rumah sakit dan pihak ketiga tidak bisa mengambil limbah B3 setiap hari, paling cepat 7 hari sekali.

Sistem kedua adalah pengolahan internal dengan menggunakan insenerator. Unit  mengolah dengan cara membakar pada suhu tertentu sesuai yang dipersyaratkan.

Perlu dicatat,  menurut data KemenLH tahun 2019 dari 2877 rumah sakit yang ada di Indonesia hanya 4% rumah sakit yang memiliki izin pengolahan dari KemenLH.  RSUD dr. Darsono Kabupaten Pacitan menjadi salah satu rumah sakit yang memiliki hak mengolah limbah B3 dengan menggunakan Insenerator setelah mendapatkan ijin dari KemenLH tahun 2019.

Mengapa RSUD dr. Darsono Kabupaten Pacitan memerlukan insenerator, adalah sebagai berikut :

  1. Pertama, Ada karakteristik limbah B3 yang memerlukan kecepatan dalam pemusnahan nya, karena sifatnya yang cepat sekali menularkan penyakit seperti pada kasus pandemi covid-19.
  2. Kedua, Biaya operasional insenerator dalam mengolah limbah B3, relatif lebih murah dibandingkan dengan pengolahan eksternal atau melibatkan pihak ketiga.
  3. Dan ketiga RSUD dr. Darsono Kabupaten Pacitan hanya mengoperasionalkan setengah dari kemampuan atau kapasitas yang sesungguhnya, karena :
  4. Insenerator hanya akan dioperasionalkan secara maksimal ketika dalam kondisi darurat, baik darurat karena pandemi atau kondisi internal maupun kondisi eksternal seperti terjadinya bencana.
  5. Karena investasi dan pengurusan izin insinerator tidak mudah dan ketersediaan suku cadang insenerator yang jauh harus keluar kota dan memakan waktu yang lama, maka penggunaannya dibatasi dalam hal ini menggunakan hanya setengah dari kapasitas yang ada.
  6. Dengan hanya menggunakan setengah dari kapasitas terpasang diharapkan juga dapat memperpanjang umur teknis insenerator tersebut.

Ketiga adalah sistem pengolahan eksternal dengan melibatkan pihak ketiga. Ada dua  lembaga yang kita libatkan sebagai pihak ketiga. Pertama adalah pihak transporter, dalam hal ini adalah PT Anak Lanang Tiga Perkasa sebagai pihak transporter atau pengangkut limbah B3 dari rumah sakit menuju tempat pengolahan. Dan, PT Wastec Intenational sebagai pengolah limbahnya. Pemilihan pihak ketiga dalam hal ini terutama transporternya, kita memerlukan kepastian :

  1. Kepastian Hukum.

Kepastian hukum dalam hal ini adalah transporter tersebut harus memiliki izin yang dibutuhkan dan dipersyaratkan sebagai penyelenggara jasa transportasi limbah B3. Demikian juga dengan perusahaan pengolah limbah B3 harus memiliki persyaratan sertifikasi hukum berhak mengolah limbah B3 serta memberikan berita acara pemusnahannya kepada pihak pertama.

  • Kepastian jadwal

Kepastian jadwal pengambilan, karena limbah B3 akan menjadi semakin berbahaya apabila semakin lama disimpan, sehingga memerlukan kepastian jadwal kedatangan, kepastian kapasitas terangkut dan sebagainya.

Mix atau kombinasi  tiga sistem tersebut tersebut dilakukan oleh RSUD dr. Darsono Kabupaten Pacitan, karena,

  1. Untuk menjamin kepastian kecepatan waktu pemusnahan limbah B. Semakin lama limbah itu tersimpan semakin meningkat risiko penularannya.
  2. Kota Pacitan keberadaannya dikelilingi oleh pegunungan, bahkan 83% wilayahnya adalah pegunungan, dataran rendahnya hanya 17% dan ini memiliki risiko bencana longsor yang dapat membuat kota Pacitan terisolir setidaknya, risiko kondisi Pacitan bisa terisoler sangat memungkinkan. Menurut data BPPD Kabupaten Pacitan tahun 2021 17% dari bencana alam yang terjadi Pacitan adalah bencana tanah longsor, dengan demikian jelas risiko terisolir bencana alam tanah longsor itu sangat besar.
  3. Letak geografis kota Pacitan yang yang jauh dari kota-kota penyedia jasa perbaikan incinerator dan penyedia sparepart sangat jauh, jelas kita tidak bisa hanya bertumpu kepada satu sistem saja dalam hal ini insenerator. 8

Dengan kondisi tersebut di atas, guna meningkatkan pencegahan dan pengendalian penularan  penyakit akibat limbah B3, serta mempertimbangkan factor geografis, dan sosial ekonomi Kabupaten Pacitan sehingga, RSUD dr. Darsono Kabupaten Pacitan berinovasi mengkombinasikan metode atau sistem pengolahan limbah B3 menjadi Tripel system.

Pacitan dikelilingi pegunungan dengan indek kebencanaan tanah longsor tinggi memiliki resiko terisolir karena bencana tanah longsor yang menyebabkan kelancaran transportasi Limbah B3 terganggu

Faktor geografis Kota Pacitan yang dikelilingi pegunungan menjadi factor pertimbangan tersendiri.  Dari aspek topografi menunjukkan bentang daratannya bervariasi dengan kemiringan sebagai berikut :

1.   Datar (kelas kelerengan 0-5%) dengan luas 55,59 Km atau 4% dari luas    wilayah Kabupaten Pacitan.

2.   Berombak (kelas kelerengan 6-10%) dengan luas 138,99 Km atau 10% dari luas wilayah Kabupaten Pacitan.

3.   Bergeklombang (kelas kelerengan 11-30%) dengan luas 333,57 Km atau 24% dari luas wilayah Kabupaten Pacitan.

4.   Berbukit (kelas kelerangan 31-50%) dengan luas 722,73 Km atau 52% dari luas wilayah di Kabupaten Pacitan.

5.   Bergunung (kelas kelerengan > 52%) dengan luas 138,99 Km atau 10% dari luas wilayah di Kabupaten Pacitan.

Diperkuat dokumen kajian kebencanaan BPBD Kabupaten Tahun 2014-2019 menyebutkan kondisi geografis dan topografis Kabupaten Pacitan memiliki indek kebencanaan tanah longsor yang tinggi (lihat tabel). Dari data yang dirilis Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pacitan hingga akhir Desember 2021 tercatat setidaknnya 441 kejadian bencana. Dari sejumlah itu, sekitar 75 persen didominasi kejadian tanah longsor dengan 330 kejadian.

Karena Kota pacitan dikelilingi pegunungan dan menuju dan dari Kota Pacitan menuju kemanapun pasti pelalui pegungungan lereng tebing, tinggi potensi bencana tanah longsor menjadi  bisa mengancam kelancaran pengangkutan limah B3 dari RSUD RSUD dr. Sudarsono Kabupaten Pacitan. Ketidaklancaran Pengangkutan Limbah B3 dapat mempengaruhi kondisi Limbah B3 dan dikawatirkan mempengaruhi potensi penularan penyakit akibat limbah B3.

IPL K3 RSUD dr. Darsono Kabupaten Pacitan menerapkan Triple System pengelolaan Limbah B3.  Triple System disusun dan di laksanakan untuk memberikan jaminan kepastian kecepatan dan ketepatanpengelolaan Limbah B3.  Inovasi pengolahan limbah B3 oleh RSUD dr. Darsono Kabupaten Pacitan, semoga dapat bermanfaat bagi semuanya dan menjadi ide inovatif yang lebih lanjut dalam rangka pengendalian  dan pengendalian infeksi akibat limbah B3, sehingga limbah B3 dapat dikelola dengan lebih efisien efektif, tidak mengganggu kesehatan manusia, dan tidak menyebabkan gangguan kepada lingkungan .

*)Laksmi Wisnu Wardani A.Md. KL adalah Nakes Sanitarian di RSUD dr. Darsono Kabupaten Pacitan, Jawa-Timur.

No More Posts Available.

No more pages to load.