Membangun Kejujuran dari Hal Sederhana: Ketika Barang Temuan Menjadi Pendidikan Karakter

Bagikan :

Oleh: Ākhmad Fauzi, S.S., S.Pd.
Guru SMP Negeri 2 Kutasari, Kabupaten Purbalingga

Di SMP Negeri 2 Kutasari, Kabupaten Purbalingga, menyerahkan barang temuan sudah menjadi budaya sekolah. Setiap siswa yang menemukan barang berharga atau sejumlah uang diwajibkan melapor kepada guru piket.

Jika tidak ada pemilik yang datang setelah diumumkan, barang atau uang tersebut diserahkan kepada pengurus takmir masjid sekolah untuk diinfakkan atas nama murid yang menemukannya. Kebiasaan sederhana ini menjadi bagian penting dari pendidikan karakter, khususnya dalam menanamkan nilai kejujuran.

Suatu pagi, ketika penulis bertugas sebagai guru piket, seorang murid kelas VII menghampiri dan menyerahkan uang Rp 10.000 yang ia temukan di dekat kolam.

“Pak, saya menemukan uang ini,” katanya.

Penulis menerimanya dan berjanji akan mengumumkannya setelah upacara. Sebelum murid perempuan itu pergi, namanya dicatat sebagai bagian dari penilaian kepribadian—sebuah bentuk penghargaan bagi murid yang berperilaku jujur. Penilaian ini menjadi data penting dalam mengevaluasi perkembangan sikap para murid, terutama dalam hal kejujuran.

Pentingnya pembentukan karakter ini sejalan dengan teori taksonomi Bloom, yang membagi tujuan pembelajaran menjadi tiga domain: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiganya saling melengkapi, namun dalam menghadapi tantangan era digital saat ini, domain afektif—yang berfokus pada nilai, sikap, dan karakter—menjadi sangat krusial.

Bahkan Kurikulum Merdeka memperkuat pentingnya aspek ini melalui delapan dimensi Profil Pelajar Pancasila yang menekankan karakter kuat dan berintegritas.

Tantangan utama pendidikan kini adalah bagaimana menanamkan kejujuran secara nyata dalam kehidupan sekolah. Pembiasaan menyerahkan barang temuan merupakan contoh efektif pembangunan karakter yang hasilnya dapat terlihat langsung. Nilai kejujuran tidak cukup diajarkan lewat teori, tetapi harus dipraktikkan, diulang, dan dijadikan budaya sekolah.

Berikut beberapa cara realistis untuk membangun kebiasaan jujur pada murid SMP:

A. Membangun Sistem Pelaporan Barang Temuan (Lost and Found)

Langkah yang dapat diterapkan antara lain:
1.Menyediakan kotak kejujuran barang temuan.
2.Guru piket mencatat dan mengumumkan barang atau uang yang ditemukan.

Memberikan apresiasi berupa poin karakter, sertifikat kecil bulanan, atau pengumuman di mading kejujuran.

B. Guru Menjadi Teladan Konsisten

Keteladanan guru adalah kunci. Guru yang mengembalikan barang bukan miliknya di depan siswa atau berani mengakui kesalahan kecil seperti, “Maaf, saya salah membaca jadwal,” memberikan contoh nyata. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keteladanan lebih kuat daripada sepuluh kali ceramah.

C. Latihan Kejujuran dalam Kegiatan Akademik

Koreksi Mandiri atau Koreksi Silang
Guru menampilkan kunci jawaban, lalu siswa mengoreksi pekerjaannya sendiri atau saling menukar hasil kerja menggunakan pulpen warna berbeda. Cara ini melatih siswa jujur terhadap kemampuan diri sendiri.

Menanamkan Kejujuran Intelektual (Anti-Plagiarisme)
Sejak SMP, siswa perlu dibiasakan mencantumkan sumber gambar, kutipan, atau materi yang mereka ambil dari internet atau buku. Dengan begitu, mereka memahami bahwa mengambil karya tanpa izin adalah bentuk ketidakjujuran.

D. Menghadirkan “Pojok Jujur” yang Dikelola OSIS

OSIS dapat diberi peran mengelola mading kejujuran. Siswa yang menemukan barang melapor kepada OSIS, kemudian dicatat dan diumumkan melalui mading atau grup antarkelas. Selain melatih kejujuran penemu, cara ini membangun tanggung jawab, kepemimpinan, dan integritas pengurus OSIS.

Pada akhirnya, membangun kejujuran tidak cukup dengan teori. Ia harus diwujudkan melalui pembiasaan yang konsisten, keteladanan, dan sistem yang mendukung. Praktik sederhana seperti penyerahan barang temuan di SMP Negeri 2 Kutasari membuktikan bahwa pendidikan karakter dapat tumbuh dari tindakan-tindakan kecil yang dilakukan setiap hari.

Dengan pembiasaan yang berkelanjutan, apresiasi yang tepat, serta keterlibatan seluruh warga sekolah, budaya integritas dapat terbentuk dengan kuat. Pendidikan karakter pun tidak lagi sekadar slogan, melainkan tampak nyata dalam perilaku siswa—sebagai bukti keberhasilan pengembangan domain afektif yang terukur dan berkelanjutan.(*)

 

 

 

 

BERITA TERKINI

inovasi2
Bupati Sadewo Serahkan Penghargaan Kepada Inovator Banyumas
ldkkts4
26 Pengurus OSIS SMPN 4 Kutasari Ikuti LDK
family dinner
Peringati Hari Anak Sedunia, Luminor Hotel Purwokerto Gelar "Family Dinner"
edu2
SMPN 3 Pengadegan Gelar Kokurikuler "Belajar dan Wirausaha"
Akhmad Fauzi1
Membangun Kejujuran dari Hal Sederhana: Ketika Barang Temuan Menjadi Pendidikan Karakter