*Dosen UIN Saizu Purwokerto
Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Prof. Abdul Wachid B.S
SINGAPURA, EDUKATOR--Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Prof. Abdul Wachid B.S., menjadi salah satu pemakalah dalam Seminar Antarabangsa Kesusasteraan Asia Tenggara (SAKAT) 2025. Forum ini berlangsung 9–12 September di The Pod, Perpustakaan Negara Singapura, beriringan dengan Sidang ke-29 Majlis Sastera Asia Tenggara (Mastera).
Dalam makalah berjudul “Suara dari Global Selatan: Puisi sebagai Tafsir Zaman”, Wachid menekankan bahwa puisi bukan sekadar ekspresi estetika, melainkan denyut hidup Global Selatan.
“Puisi merekam pergulatan sejarah, krisis, dan harapan masyarakat. Ia menjaga tradisi, menyuarakan kritik sosial, membangun solidaritas lintas bangsa, sekaligus menjadi medium intelektual yang menantang hegemoni Barat,” ujar Wachid dalam rilis yang diterima EDUKATOR, Kamis (11/9/2025)..
Ia mencontohkan bagaimana penyair-penyair Asia Tenggara menghadirkan suara zaman melalui bahasa puitik. Dari Indonesia, W.S. Rendra, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi W.M., A. Mustofa Bisri (Gus Mus), dan Wiji Thukul menghadirkan puisi yang lahir dari pergulatan sejarah, spiritualitas, dan kritik sosial.
Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Prof. Abdul Wachid B.S (kiri)
Dari Malaysia, nama besar Usman Awang dan A. Samad Said menegaskan puisi sebagai wadah solidaritas kemanusiaan dan refleksi identitas. Sementara dari Filipina, Merlinda Bobis—penyair diaspora—memperlihatkan pengalaman migrasi dan keterasingan sebagai bagian dari wacana global.
Menurut Wachid, puisi di Asia Tenggara memiliki akar kuat pada tradisi lisan seperti pantun, syair, gurindam, dan kidung yang berfungsi sebagai “arsip kultural” penyimpan kebijaksanaan lokal. Namun, ia juga menjadi wadah perlawanan sejak masa kolonial hingga pascakolonial, menghadirkan suara rakyat kecil yang kerap terpinggirkan.
“Puisi adalah tafsir zaman. Ia tidak hanya mengabarkan, tetapi juga memberi makna. Dengan puisi, manusia diajak merenung, menemukan harapan, sekaligus melawan keputusasaan,” kata Wachid.
Pentingnya Solidaritas Global Selatan
Ia menegaskan pula pentingnya solidaritas Global Selatan. Puisi Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin, menurutnya, senantiasa terhubung oleh pengalaman senasib dalam menghadapi kolonialisme, kemiskinan struktural, dan ketidakadilan global.
Kehadiran Wachid dalam SAKAT 2025 menegaskan kontribusi Indonesia dalam khazanah sastra kawasan. Ia juga mengingatkan bahwa sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, sastra Indonesia telah memainkan peran penting sebagai bagian dari gerakan kultural Global Selatan, menawarkan suara alternatif bagi peradaban dunia. (*/Iko)